UMKM VS CORONAVIRUS

Andi Nur Bau Massepe
4 min readOct 3, 2020

Survey yang dilakukan International Council of Small Business (ICSB) Indonesia terhadap dampak Covid 19 bagi pelaku UKM di Indonesia memberikan fakta bahwa pada aspek pemasaran pelaku UMKM mengalami penurunan permintaan pelanggan (78,2%), merasakan kesulitan berjualan secara daring (17%). Bidang operasional terjadi kenaikan harga bahan baku (51,8%), kesulitan mendapat bahan baku (32,9%). Aspek sumber daya manusia menunjukkan penurunan motivasi kerja (53,3%). penurunan produktivitas (29,7%). Aspek keuangan mengalami kekurangan uang kas/ modal (58,2%) hutang atau kredit yang jatuh tempo (38,8%). Survey ini dilaksanakan 160 respoden yang tersebar di di kota besar di Indonesia, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan dan Bali yang dilakukan pada bulan April dan Mei 2020. ICSB sendiri adalah organisasi Internasional yang berpusat di Amerika Serikat yang telah berdiri sejak tahun 19.

Memang survey ini tidak bisa 100 persen menjadi sumber rujukan, mengingat keterbatasan sampling dan metode yang dilakukan, namun sedikit memberi gambaran kepada kita bahwa pelalu UMKM ini sangat terdampak akibat pandemi ini.

Apa tantangan pelaku UKM di masa krisis?

Begitu pemberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) oleh Presiden Jokowi pada awal bulan April otomatis membuat pelaku Usaha baik UMKM dan skala besar serta Industri mengalami guncangan bagi bisnis mereka. Di kota Makassar sendiri keputusan PSBB berlaku efektif tanggal 24 April s.d 7 Mei 2020. Dampaknya terhadap dunia usaha begitu sangat terasa seperti turunnya penjualan dan omzet usaha, biaya operasional yang makin tinggi, permasalahan kredit usaha, kendala logistik dan transportasi, terpuruknya mental pengusaha.

Faktor turunnya penjualan dan tidak adanya pembeli menjadi masalah utama. Pelaku UMKM seperti penjual oleh-oleh banyak yang mengeluh bahwa produk mereka tidak laku karena toko mitra mereka tutup dan tidak adanya kunjungan wisata. Pedagang kaki lima biasanya nongkrong dijalan pun tidak boleh keluar berjualan dijalanan karena larangan pemerintah. Toko alat tulis atau barang-barang keperluan rumah tangga pun diminta tutup. Hotel dan restoran pun tidak buka. Ini berdampak pada pelaku UKM yang secara langsung bermitra dengan perusahaan tersebut. Merekan pun terhambat menerima pembayaran atau barangnya dikembalikan sama sekali dengan perusahaan mitra tersebut.

Biaya operasional yang terus meninggi. Pelaku UMKM dituntut untuk tetap mengeluarkan biaya operasional seperti listirk, air, gaji pegawai dan kewajiban membayar kredit. Tagihan listrik yang tetap ada dan cenderung naik, pemerintah melarang adanya PHK karyawan tentu menjadi beban yang bertambah bagi pelaku UKM. Ditambah pemilik usaha juga harus membiaya kebutuhan rumah tangga mereka sendiri.

Terhadap kredit perbankan awal mulanya tidak semua Bank mengikuti instruksi dari OJK teradap kebijakan kelonggaran atau relaksasi kredit bagi pelaku Usaha yang terkena Covid 19. Beberapa perbankan tebang pilih terhadap debitur mereka, menurut debitur yang sehat dan tidak terkena Covid19 tidaklah termasuk dalam skema ini. Namun pelaku UMKM bereaksi kebijakan tersebut, pelaku ukm mengatakan walupun tidak sakit tetapi usaha mereka berdampak sehingga mereka tidak memiliki uang lagi untuk membayar kredit.

Masih adanya beban kredit yang harus mereka banyar berimbas pada cash flow. Tidak semua pelaku UKM kita memiliki cash flow yang positif, dalam jangka panjang mereka harus menggunakan modal pribadi untuk menanggulangi biaya operasional dan utang yang terus berjalan itupun hanya mampu sekitar dua atau tiga bulan sejak PSBB.

Logistik dan transportasi menjadi kendala utama khususnya UKM yang ada di daerah. Kita ketahui bahwa pembatasan operasional bandara dan pelabuhan sebagai salah satu moda transportasi bagi pelaku usaha di pulau Sulawesi memberi imbas kepada supply chain usaha UMKM. Pemesanan barang tersendat, pengiriman barang juga demikian. Contoh kasus untuk pengiriman barang ke Indonesia timur seperti papua harus menunggu kapal yang datangnya lama, bila menggunakan pesawat biayanya lebih besar.

Terkendala pada literasi digital dan pemasaran online. Walaupun ada solusi untuk penjualan online namun tidak semua pelaku UKM memiliki pengetahuan untuk itu. Banyak pelaku UKM kita masih gaptek, akses jaringan internet yang susah terutama di pedesaan. Lemahnya literasi digital menjadi catatan khusus bagi pengambil kebijakan. Selain itu masih minimnya SDM terampil dalam bidang social media marketing, dan manajemen bisnis secara digital, ini membuat pelaku UKM harus disibukkan untuk “belajar” sementara mereka masih harus fokus pada produksi konvensional.

Hal yang tidak kalah penting adalah mentalitas pengusaha. Tidak semua pelaku UMKM kita memiliki mental tanggap terhadap resiko. Bagaimana mereka merespon terhadap perubahaan ini, banyak yang tidak siap, malah kaget dengan skenario yang tidak terencana.. Selama dua minggu banyak pelakuk UKM yang hanya diam dan wait and see. Bagi yang memiliki mental kuat langsung yang membanting stir dengan membuat usaha jangka pendek (usaha dadakan) seperti produksi alat dan minuman kesehatan seperti masker, handsanitizer, alat pelindung diri, jamu atau obat herbal untuk imun tubuh. Tapi tentu ini hanya sementara dan tidak bisa termenerus.

Ada juga pelaku usaha yang bisnisnya tetap berjalan dan malah meningkat, karena mereka memang berada pada kategori bisnis produk yang dibutuhkan bagi masyarakat pada masa covid19 ini seperti pulsa dan data internet, makanan dan minuman, barang-barang kebutuhan sehari-hari dan berkaitan dengan kefarmasian.

Saya pun mengelompokkan kedalam tiga respon pelaku UKM terhadap krisis iin adalah collapse, survive dan growth. Collapse adalah kondisi pelaku UKM menyerah terhadap kejadian ini, tidak bisa berbuat apa-apa sampai saat ini. Survive adalah kondisi pelaku UKM yang masih beroperasi seperti sedia kala, beroperasi apa adanya, atau malah banting stir dengan usaha dadakan tadi yang disebut diatas hanya sekedar bertahan hidup belum punya rencana kedepan bagaimaan. Terakhir adalah usaha yang Growth atau tetap bertumbuh ditengah wabah pandemi ini, omzet naik, penjualan positif, dan mendapat laba. Namun kategori ini amatlah sedikit jumlahnya.

Tentu kita harapkan kecekatan pemerintah kita didaerah dalam merespon permasalah UMKM. Ini adalah suatu tragedi kemanusiaan bukan lagi tragedi kesehatan semata. Penangan penegakan ketidak disipilinan terhadap pelaku UKM dengan mengusir mereka dari pasar, penyegelan toko dan jualan.

Adanya rencana stimulus bagi pelaku UKM sekitar Rp 123, 4 trilyun tentu hal yang baik, terpenting lagi stimulus itu tepat sasaran dan betul betul kawal dari korupsi dan penyalahgunaan dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah harus lebih menekan rasa empati terhadap para pelaku UKM Ini. Membuka komunikasi yang cair dengan pelaku UKM dan dunia usaha merupakan langkah yang segera dilakukan. Bersama-sama mencari solusi terhadap masa pemulihan ekonomi dimasa yang akan datang.

--

--

Andi Nur Bau Massepe

I am lecturer and business consulting for SME’s. Teaching for marketing and strategic management at Magister of Management Hasanuddin University.